Madzhab Kufah
Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia menuntut ilmu di Bashrah kepada ulama-ulama Bashrah. Ia belajar kepada Abu Amr bin al-Ala dan Isa bin Umar al-Tsaqafiy. Namun ia selama di sana tidak pernah mendekati/berkenalan dengan murid-murid keduan imam tersebut pun menegurnya. Ia tinggal di Bashrah dalam keadaan tidak terkenal. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata)bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Kitab ini pernah diperlihatkan kepada para ahli nahwu Bashrah. Namun mereka tidak pernah meliriknya. Dan ia pun tidak pernah memperlihatkannya lagi, setelah mendengar komentar (miring) dari mereka. Ia menduga Khalil meminta kitab tersebut, lalu ia memperlihatkan kitab itu padanya. Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.
Sekembalinya ke Kufah, ia menemui pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu. Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan podasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah. Lebih lanjut, tegas Syauqiy, namanya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab ulama nahwu setelahnya yang pernah sejaman dengannya. Dan Syauqiy mengutip Abu Hatim yang pernah menyatakan:”Di Kufah ada seorang ulama nahwu yang bernama Abu Ja’far al-Ruasiy. Ilmunya kurang, dan ia bukan apa-apa.”
Al-Kisaiy adalah seorang ulama non-Arab (a’jamiy). Ia merupakan salah seorang ahli qiraat sab’ah dan imam ahli Kufah dalam bidang bahasa Arab. Ia belajar kepada Yunus, salah seorang ulama Bashra dan Khalil. Ia juga berkunjung ke pedalaman-pedalaman Najd, Hijaz dan Tihamah. Ia mencatat bahasa Arab dari orang badwi di sana. Ia menghabiskan 15 botol kecil tinta untuk mencatat apa yang ia tangkap, selain apa yang ia dengar. Sekembalinya ia ke Bashrah, ia mendapatkan Khalil telah meninggal. Di sana ia hanya mendapatkan Yunus. Maka terjadilah diskusi antara keduanya. Yunus akhirnya mengakui keilmuan al-Kisaiy dan menempatkannya sejajar dengan dirinya. Ia menggantikan posisi dirinya.
Selanjutnya al-Kisaiy pindah ke Bagdad. Di sana ia tinggal di istana al-Rasyid sambil mengajar kedua putera mahkota, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. ia pula di sana mendapat kedudukan terhormat dan harta benda. Ia dipekerjakan oleh al-Rasyid untuk membantu mengajari kedua putera mahkota. Pada waktu al-Rasyid pergi ke Ray, beliau ditemani oleh al-Kisaiy dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Maka ketika keduanya meninggal dunia, al-Rasyid berkata:”Aku menguburkan fiqih dan nahwu dalam satu hari.”
Adapun al-Farra, ia telah belajar di Bashrah kepada Yunus bin Hubaib, lalu kepada al-Ruasiy. Dan setelah itu ia terus belajar kepada al-Kisaiy di Bagdad. Orang yang menyuruhnya berangkat ke Bagdad ialah gurunya sendiri al-Ruasiy.
Sekarang, marilah kita dengarkan perkataan al-Farra ketika pertama kalinya menginjakan kaki di Bagdad.
Al-Ruasiy pernah berkata kepadaku:”Al-Kisaiy datang ke Bagdad dalam usia lebih muda darimu.” Kemudian aku datang ke sana dan menemui al-Kisaiy. Aku bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang dibahas al-Kisaiy. Ia menjawab dengan jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang aku perleh dari al-Ruasiy. Aku melirik para ulama Kufah yang ketika itu ada bersamaku. Ia balik bertanya:”Mengapa engkau mengingkari apa yang aku katakan? Bukankah engkau ini ulama Kufah? Aku jawab:”Ya.” Lalu ia melanjutkan perkataannya:”Al-Ruasiy berkata begini…begitu…Semuanya tidak benar. Tapi aku mendengar orang-orang berkata begini-begini. Sehingga ia sampailah pada bahasan-bahasanku. Aku sangat tertarik uraiannya dan aku pun kemudian belajar padanya.
Ada hal yang unik pada Farra ini, para ulama Bashrah dan Kufah ternyata sangat menjunjung tinggi bacaannya yang ia pelajari dari Hubaib al-Bashriy, yang menjadi guru Sibawaih, dengan sanjungan yang luar biasa. Ulama-ulama Kufah mengira ia banyak mengambil ilmu dari Hubaib, sedang ulama Bashrah menampik hal demikian. Di atas itu semua, ternyata al-Farra adalah orang yang sangat fanatik kepada Sibawaih dan kitabnya. Ia adalah salah seorang ulama yang telah mengarang kita ma’ani al-Qur’an yang belum pernah dikarang oleh ulama lain.
Kufah masuk ke daerah Irak dan lebih memungkinkan terjadinya percampuran dengan kaum non-Arab (‘Ajam). Di mana bahasa kaum Badwinya tidak semurni badwi Bashrah. Kebanyakan dari mereka dalah orang-orang Yaman. Jarang sekali datang dari kabilah lain. Sedangkan Yaman, bahasa mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena telah tercampuri bahasa Persia dan Ahbasy. Kemudian antara Kufah dan jazirah Arab, terbentang gurun pasir yang sangat luas kondisi itu tidak memungkinkan para ulamanya mereka melakukan rihlah ilmiah ke sana, sebagaimana ulama-ulama Bashrah. Sedang al-Kisaiy tidak pernah melakukan perjalanan itu, kecuali atas hasil berguru pada Khalil. Oleh Khalil ia diberi petunjuk untuk melakukan perjalanan.
Abu Amr bin Abi al-Ala, seorang ulama Bashrah periode pertama telah melakukan perjalanan selama empat puluh tahun. Sedangkan al-Kisaiy hanya tinggal empat puluh hari di perkampungan orang badwi tersebut. Dengan demikian, para ulama Basrah dakam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
Ada sebagian peneliti menyimpulkan bahwa perbeadaan antara madzhab Basrah dan Kufah adalah, jika basrah lebih cenderung ke kias (manthiq) sedang madzhab Kufah lebih cenderung ke sima (periwayatan). Memang hal itu bisa dibenarkan, namun itu terlalu menyederhanakan masalah. Dan yang penulis pegang adalah seperti yang telah diuraikan di atas.