Saturday 13 December 2014

MADRASAH KUFAH

 Madzhab Kufah
 Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Ja’far al-Ruasiy. Ia menuntut ilmu di Bashrah kepada ulama-ulama Bashrah. Ia belajar kepada Abu Amr bin al-Ala dan Isa bin Umar al-Tsaqafiy. Namun ia selama di sana tidak pernah mendekati/berkenalan dengan murid-murid keduan imam tersebut pun menegurnya. Ia tinggal di Bashrah dalam keadaan tidak terkenal. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata)bahasa Arab-an,yaitu kitab al-Faishal. Kitab ini pernah diperlihatkan kepada para ahli nahwu Bashrah. Namun mereka tidak pernah meliriknya. Dan ia pun tidak pernah memperlihatkannya lagi, setelah mendengar komentar (miring) dari mereka. Ia menduga Khalil meminta kitab tersebut, lalu ia memperlihatkan kitab itu padanya. Setelah itu Khalil berkomentar: “Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah”. Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yang disebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an, ia dinggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qiraat.

 Sekembalinya ke  Kufah,  ia  menemui  pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira, seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu. Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.

 Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan podasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah. Lebih lanjut, tegas Syauqiy, namanya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab ulama nahwu setelahnya yang pernah sejaman dengannya. Dan Syauqiy mengutip Abu Hatim yang pernah menyatakan:”Di Kufah ada seorang ulama nahwu yang bernama Abu Ja’far al-Ruasiy. Ilmunya kurang, dan ia bukan apa-apa.”

 Al-Kisaiy adalah seorang ulama non-Arab (a’jamiy). Ia merupakan salah seorang ahli qiraat sab’ah dan imam ahli Kufah dalam bidang bahasa Arab. Ia belajar kepada Yunus, salah seorang ulama Bashra dan Khalil. Ia juga berkunjung ke pedalaman-pedalaman Najd, Hijaz dan Tihamah. Ia mencatat bahasa Arab dari orang badwi di sana. Ia menghabiskan 15 botol kecil tinta untuk mencatat apa yang ia tangkap, selain apa yang ia dengar. Sekembalinya ia ke Bashrah, ia mendapatkan Khalil telah meninggal. Di sana ia hanya mendapatkan Yunus. Maka terjadilah diskusi antara keduanya. Yunus akhirnya mengakui keilmuan al-Kisaiy dan menempatkannya sejajar dengan dirinya. Ia menggantikan posisi dirinya.
 Selanjutnya al-Kisaiy pindah ke Bagdad. Di sana ia tinggal di istana al-Rasyid sambil mengajar kedua putera mahkota, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. ia pula di sana mendapat kedudukan terhormat dan harta benda. Ia dipekerjakan  oleh al-Rasyid untuk membantu mengajari kedua putera mahkota. Pada waktu al-Rasyid pergi ke Ray, beliau ditemani oleh al-Kisaiy dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Maka ketika keduanya meninggal dunia, al-Rasyid berkata:”Aku menguburkan fiqih dan nahwu dalam satu hari.”
 Adapun al-Farra, ia telah belajar di Bashrah kepada Yunus bin Hubaib, lalu kepada al-Ruasiy. Dan setelah itu ia terus belajar kepada al-Kisaiy di Bagdad. Orang yang menyuruhnya berangkat ke Bagdad ialah gurunya sendiri al-Ruasiy.
 Sekarang, marilah kita dengarkan perkataan al-Farra ketika pertama kalinya menginjakan kaki di Bagdad.
 Al-Ruasiy pernah berkata kepadaku:”Al-Kisaiy datang ke Bagdad dalam usia lebih muda darimu.”  Kemudian aku datang ke sana dan menemui al-Kisaiy. Aku bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang dibahas al-Kisaiy. Ia menjawab dengan jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang aku perleh dari al-Ruasiy. Aku melirik para ulama Kufah yang ketika itu ada bersamaku. Ia balik bertanya:”Mengapa engkau mengingkari apa yang aku katakan? Bukankah engkau ini ulama Kufah? Aku jawab:”Ya.” Lalu ia melanjutkan perkataannya:”Al-Ruasiy berkata begini…begitu…Semuanya tidak benar. Tapi aku mendengar orang-orang berkata begini-begini. Sehingga ia sampailah pada bahasan-bahasanku. Aku sangat tertarik uraiannya dan aku pun kemudian belajar padanya.
 Ada hal yang unik pada Farra ini, para ulama Bashrah dan Kufah ternyata sangat menjunjung tinggi bacaannya yang ia pelajari dari Hubaib al-Bashriy, yang menjadi guru Sibawaih, dengan sanjungan yang luar biasa. Ulama-ulama Kufah mengira ia banyak mengambil ilmu dari Hubaib, sedang ulama Bashrah menampik hal demikian. Di atas itu semua, ternyata al-Farra adalah orang yang sangat fanatik kepada Sibawaih dan kitabnya. Ia adalah salah seorang ulama yang telah mengarang kita ma’ani al-Qur’an yang belum pernah dikarang oleh ulama lain.
 Kufah masuk ke daerah Irak dan lebih memungkinkan terjadinya percampuran dengan kaum non-Arab (‘Ajam). Di mana bahasa kaum Badwinya tidak semurni badwi Bashrah. Kebanyakan dari mereka dalah orang-orang Yaman. Jarang sekali datang dari kabilah lain. Sedangkan Yaman, bahasa mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena telah tercampuri bahasa Persia dan Ahbasy. Kemudian antara Kufah dan jazirah Arab, terbentang gurun pasir yang sangat luas kondisi itu tidak memungkinkan para ulamanya mereka melakukan rihlah ilmiah ke sana, sebagaimana ulama-ulama Bashrah. Sedang al-Kisaiy tidak pernah melakukan perjalanan itu, kecuali atas hasil berguru pada Khalil. Oleh Khalil ia diberi petunjuk untuk melakukan perjalanan.
 Abu Amr bin Abi al-Ala, seorang ulama Bashrah periode pertama telah melakukan perjalanan selama empat puluh tahun. Sedangkan al-Kisaiy hanya tinggal empat puluh hari di perkampungan orang badwi tersebut. Dengan demikian, para ulama Basrah dakam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy  memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
 Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
 Ada sebagian peneliti menyimpulkan bahwa perbeadaan antara madzhab Basrah dan Kufah adalah, jika basrah lebih cenderung ke kias (manthiq) sedang madzhab Kufah lebih cenderung ke sima (periwayatan). Memang hal itu bisa dibenarkan, namun itu terlalu menyederhanakan masalah. Dan yang penulis pegang adalah seperti yang telah diuraikan di atas.




MADRASAH KUFFAH

Tuesday 9 December 2014

MADRASAH ANDALUS

Pada awalnya, Madrasah Andalus tidak wujud secara sendiri dan tidak bebas. Ini kerana mereka banyak terpengaruh dengan ulama-ulama terutama drpd Timur iaitu Sibawaih dan anak-anak muridnya. Berikut adalah tahap-tahap awal sebelum madrasah ini berdiri dengan sendirinya:

1. Tahap Kebergantungan Kepada Ulama Timur

Tahap ini bermula dari zaman Kerajaan ’Umayyah yang berasingan hingga kepada zaman raja-raja dan puak-puak iaitu kurun ke-3, ke-4 dan ke-5 Hijriah dan memakan masa lebih kurang tiga kurun lamanya.  Tahap ini juga dikenali sebagai permulaan ilmu nahu masuk ke Negara Andalus di bawah kelolaan JËdiy bin ‘UthmÉn (m. 198H) hingga masa Ibn SÊdah (m. 448H). Penduduk Andalus sangat mengharapkan kepada ulama dari Timur iaitu Basrah, Kufah dan Baghdad untuk mengajar disiplin nahu serta disiplin-disiplin bahasa yang lain.

Antara kemajuan yang dicapai pada tahap ini menyerupai peringkat kedua perkembangan ilmu nahu di Basrah dan Kufah iaitu peringkat percambahan dan kesuburan. Hal ini kerana, nama-nama besar yang disebut di atas tidak mendapat bekalan ilmu nahu yang secukupnya kerana jarak perjalanan untuk ke Timur (Basrah, Kufah dan Baghdad) begitu jauh. Tambahan pula, masyarakat cendekiawan tidak memfokuskan kepada ilmu tatabahasa dan linguistik Arab. Mereka hanya menumpukan kepada ilmu fiqah, usuluddin, qira’at dan syair sahaja. Kebanyakan ulama tahap ini mengembara ke Timur untuk menuntut ilmu secara umum dan segelintir sahaja yang mengutamakan kepada ilmu nahu secara khusus. Antara cendekiawan yang begitu berminat kepada ilmu tatabahasa ialah MuÍammad bin MusÉ al-’AfshÊn yang menjelajah ke Mesir untuk belajar dengan ’AbË Ja`far al-DÊnËriy serta
mengambil kitab SÊbawayh daripadanya, kemudian membawa balik ke Cordova untuk diajarkan kepada pelajar-pelajarnya. Begitu juga dengan MuÍammad bin YahyÉ alRabÉÍiy yang bertemu dengan ’AbË Ja‘far bin al-NaÍÍÉs di Mesir dan mengambil kitab SÊbawayh juga untuk diajarkan kepada anak-anak muridnya serta dihuraikan perkara-perkara susah di dalamnya. 

2. Tahap Kebergantungan Kepada Karya Timur

Tahap ini berlangsung lebih dari satu abad iaitu pada kurun ke-6 Hijriah dan merangkumi Zaman Perikatan Afrika (493 – 541H) dan sebahagian pertama Zaman Kesatuan Afrika (541 – 668H). Tahap ini dikenali juga dengan Madrasah al-’A‘lam al-Shantamiriy dan pelajar-pelajarnya seperti Ibn al-ÙarÉwah dan lain-lain.

Kemajuan yang dicapai dalam tahap ini menyerupai peringkat ketiga perkembangan ilmu nahu di Basrah dan Kufah yang dikenali sebagai peringkat kematangan dan kesempurnaan. Ilmu nahu berkembang dengan pesat di Andalus sehingga mendahului perkembangannya berbanding dengan Timur. Begitu juga dengan para ulama yang begitu berminat terhadap ilmu nahu dengan menumpukan sepenuh perhatian, ikhlas dan sentiasa mengabdikan diri untuk ilmu tersebut sehingga
mengatasi galakan serta dorongan yang dihulurkan oleh raja-raja serta pemerintah daripada Kerajaan Perikatan dan Kesatuan Afrika. 

3. Tahap Kebebasan dalam Penulisan

Tahap ini berlangsung selama lebih kurang satu abad sahaja iaitu pada kurun ke-7 Hijriah, pada masa pemerintahan Kesatuan Afrika dan berakhir pada tahun 668 Hijriah apabila pemerintah Islam keluar dari bumi Andalus. Zaman ini dikenali juga dengan Madrasah ’AbÊ ‘Aliy al-ShalawbÊniy dan pelajar-pelajarnya. 

Zaman sebelum ini telah menjadikan tahap ketiga sebagai masa keemasan bagi perkembangan ilmu nahu di Andalus. Generasi ulama lepas telah mempersiapsediakan segala kelengkapan dan persiapan hingga membolehkan Madrasah ’AbÊ ‘Aliy al-ShalawbÊniy dan pelajar-pelajarnya mengorak langkah ke hadapan dengan penuh bergaya dan sentiasa disebut dalam lipatan sejarah. Akhirnya, Madrasah tersebut diihat mampu berdikari dengan sendiri dan membentuk aliran khusus dalam ilmu
nahu. Pemilihan terhadap aliran-aliran terdahulu dan penyaringan yang dilakukan oleh madrasah ini telah menyumbang ke arah pembentukan satu aliran nahu yang tersendiri dan berjaya menaikkan nama Andalus sebaris dengan aliran-aliran masyhur yang lain. Suasana yang berlaku dalam aliran baru ini samalah dengan keadaan peringkat keempat pembentukan ilmu nahu yang berlaku di Baghdad yang dikenali sebagai peringkat pemilihan dan penyebarluasan.

Ulama pada tahap ini sibuk dengan menghuraikan dan mengulas kitab-kitab terutama yang dihasilkan oleh ulama mereka sendiri dan sedikit sahaja bergantung kepada manuskrip dari Timur. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai aliran dan pendapat yang tersendiri. Fenomena tersebut dapat dilihat menerusi ’AbË ‘Aliy alShalawbÊniy sebagai seorang imam bahasa Arab yang mengarang manuskrip dalam ilmu nahu yang dikenali sebagai al-TawÏi’ah. Begitu juga dengan Ibn HishÉm alKhaÌrÉwiy yang menghasilkan manuskrip dalam ilmu saraf yang diberi nama FaÎl alMaqÉl fÊ ’Abniyah al-’Af‘Él. Seterusnya, diikuti oleh Ibn ‘UÎfËr yang menulis kitab dalam ilmu nahu dan tasrif. Dalam ilmu nahu, beliau menulis kitab al-Muqrib yang mengatasi kitab dari Timur dari segi keindahan bahasa, balaghah pengucapan, ringkas dan menyeluruh pada tajuknya. Dalam ilmu tasrif, beliau mengarang kitab al-Mumti`merupakan kitab yang besar dan luas dalam ilmunya.

Walaupun ulama zaman ini sibuk menghasilkan karya-karya baharu, namun mereka tidak meninggalkan sama sekali kitab-kitab dari Timur. Mereka seperti ulama terdahulu, tetap memandang tinggi kepada kitab-kitab berkenaan dengan cara menghurai, mengulas dan menganalisa. Sebagai contoh kitab al-‘ÔÌÉÍ bagi ‘Aliy alFÉrisiy dihurai oleh begitu ramai ulama seperti Ibn HishÉm al-KhaÌrÉwiy, Ibn al-×Éj, Ibn ’AbÊ al-RabÊ‘ dan Ibn al-ÖÉ’i‘.


Sunday 7 December 2014

KELAHIRAN ILMU NAHU DI BASRAH

Faktor yang menjadikan Basrah Tempat Lahirnya ilmu Nahu.

1- Faktor Geografi

  • Basrah terletak di tengah padang Sahra' sebelah Selatan Laut, Sebelah Barat lembah Najd
2- Pasar penambatan unta
  • Kedudukannya seperti pasar "ukadh" di Arab pada zama Jahiliyah
  • Di pasar ini ahli-ahli sejarah bahasa / penyair berkumpul untuk beradu kemampuan
  • Tempat ini menjadi rujukan kaedah nahu
3- Jenis masyarakat
  • Kebanyakan bangsa Arab yang fasih dalam bahasa arab (Qais & Tamin) adalah di Basrah.
  • mengunjungi kabilah di pedalaman yang belum tercemar bahasa
  • majoriti penduduk basrah Badwi
4- Kegigihan para pelajar
  • Pada waktu itu penduduk basrah sudah bercampur dengan Ajam


Sumber-sumber Kajian Aliran Basrah

1- al-Quran al-Karim
Terbahagi kepada 3 peringkat:
  • Peringkat pertama : Ayat-ayat al-Quran yang menepati dan sesuai dengan kaedah nahu tanpa takwil.
  • peringkat kedua: Ayat-ayat al-Quran yang menepati dan sesuai dengan kaedah nahu dengan takwil
  • peringkat ketiga: Ayat-ayat al-Quran yang tidak menepati kaedah tatabahasa sekalipun dengan takwil dan menganggap bacaan itu ganjil dan salah.
2- Puisi-Puisi Arab
  • Contoh : pasar al-Milbad
3- Bahasa kabilah-kabilah Arab
  • Para Ulama memiliki tradisi mengunjungi Kabilah yang tinggal di pedalaman beranggapan bahawa Bahasa Arab yang asli terdapat disana.
  • Bahasa Arab di pedalam belum tercemar
  • contoh: Tamin dan Qais

Tokoh-tokoh Nahu Aliran Basrah

1- Generasi pertama
  • Abdul Aswad Ad-Duali
  • Abdul Rahman bin Hurmuz
2- Generasi kedua
  • Yahya bin Ya'mur Al-Udwan Al-Laitsi
  • Maimun Al-Aqran
  • Anbasah Al-Fil
  • Nasr bin Ashim Al-Laitsi
3- Generasi ketiga
  • Abdullah bin Abu Ishak
  • Abu Umar bin Ula
  • Isa bin Amr Ats-Tsaqfi
4-Generasi Keempat
  • Al-Akhfa al-akbar
  • Al-khalil bin Ahmad
  • yunus bin Habib
5- Generasi Kelima
  • Sibawih
  • Uqaibah bin Hubairah al-asady
  • Nasyal bin Hurry
  • Al-Akhthal
  • Al-yazidy
6-Generasi keenam
  • Al-Akhfasy al-Aw sath
  • Qathrab
7- Generasi ketujuh
  • Al-Jurmy
  • Al-Tauzy
  • Al-Maziny
  • Abu Khatim as-sijistany
  • Ar-Riyasyy
8- Generasi kelapan
  • Al-Mubarrad